Pembahasan kali ini dimulai dari prinsip yang paling mendasar dari
ajaran Islam, sebagai pengingat bagi yang lupa, nasehat bagi yang lalai
dan meluruskan bagi yang salah dalam memahaminya. Dalam rangka
menjalankan perintah Allah:
فَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ…( الذاريات: 55 )
Maka ingatkanlah, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi kaum mukminin. (adz-Dzariyat: 55)
Dalam sebuah hadits masyhur disebutkan: Dari Umar radhiallahu ‘anhu,
beliau berkata: “Tatkala kami sedang duduk bersama Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam pada suatu hari, tiba-tiba muncul di hadapan kami
seorang lelaki yang berpakaian sangat putih, berambut hitam legam, tidak
ada padanya tanda-tanda selepas bepergian dan tidak ada seorangpun di
antara kami yang mengenalinya. Dia datang dan duduk menghadap Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam kemudian merapatkan lututnya kepada lutut
Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam seraya berkata: “Wahai Muhammad terangkan kepadaku apa
itu Islam?”. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
اْلاِسلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إَلاَّ
الله وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ،
وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتُحِجُّ الْبَيْتِ إِنِ
اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً.
Islam itu ialah engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang
berhak diibadahi ke-cuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah rasul
(utusan) Allah dan engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat, ber-puasa
di bulan Ramadahan, dan menjalani ibadah haji di Baitullah (al-Haram)
jika engkau mampu mengadakan perjalanan kepadanya”. (HR. Muslim juz 1
hal 133)
Inilah dasar-dasar Islam.
Kalimat yang pertama kali harus kita perhatikan adalah dua syahadat
yang dengannya seorang kafir menjadi muslim. Dengan demikian kalimat itu
adalah kalimat yang sangat besar dan harus dipahami dengan benar.
Kalimat لاإله إلا الله adalah sebenar-benar ucapan dan sebaik-baik
dzikir. Tidak ada satu makhluk pun yang tidak membutuhkan kalimat
tersebut. Kalimat ini mengandung pernyataan bahwa tidak ada yang berhak
diibadahi kecuali hanya Allah saja. Konsekwensinya adalah orang yang
mengikrarkan kalimat tersebut harus bertekad untuk tidak beribadah
kepada siapapun kecuali kepada Allah. Tidak beribadah dalam bentuk
apapun semisal berdo’a, tawakal, sujud dan ruku’, dan berkurban kecuali
kepada Allah, untuk Allah dan dengan cara yang Allah kehendaki.
Dalam kalimat tersebut terkandung dua perkara, yaitu peniadaan (nafi’)
dan penetapan (itsbat). Peniadaan atas segala macam sesembahan yang
diibadahi dan penetapan ibadah hanya untuk Allah. Tidak bisa salah
satunya dikatakan tauhid kecuali harus bersama yang lainnya. Artinya,
peniadaan tanpa penetapan adalah atheisme sedangkan penetapan tanpa
peniadaan adalah paganisme dan kesyirikan.
Inilah yang diistilahkan dengan tauhid uluhiyah atau tauhid ubudiyah
dan inilah makna yang terkandung dalam kalimat tauhid لاإله إلا الله .
Seseorang yang telah mengikrarkan tauhid uluhiyah dengan keyakinan
dan amal-an dengan sendirinya mereka harus beriman bahwa Allah adalah
yang menciptakan dan mengatur seluruh alam beserta isinya atau yang kita
pahami sebagai tauhid rububiyah. Juga meyakini bahwa Allah memiliki
nama-nama yang mulia serta sifat-sifat yang tinggi yang dikenal dengan
Tauhid Asma’ wa sifat. Keyakinan ini didasari berita yang datangnya dari
al Qur-an dan lisan Rasul-Nya dalam ha-dits-hadits yang shahih. Beriman
kepadanya merupakan ibadah kepada Allah yang terkandung dalam kalimat
لاإله إلا الله.
Akan tetapi, seorang yang percaya bah-wa Allah adalah penguasa dan
penciptanya belum tentu mereka beribadahnya hanya kepada Allah semata.
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ لَيَقُوْلُنَّ خَلَقَهُنَّ الْعَزِيْزُ الْعَلِيْمُ (الزخرف: 9)
Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka (orang-orang musyrik):
“Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, nisca-ya mereka akan
menjawab: “Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha
Mengetahui.” (az-Zukhruf: 9)
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُوْلُنَّ اللهُ فَأَنىَّ يُؤْفَكُوْنَ. (الزخرف: 87)
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang
menciptakan me-reka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah
mereka dapat dipa-lingkan (dari menyembah Allah)?. (az-Zukhruf: 87)
قُلْ لِمَنِ اْلأَرْضُ وَمَنْ فِيْهَا إِنْ كُنْتُمْ
تَعْلَمُوْنَ سَيَقُوْلُنَّ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَذَكَّرُوْنَ. قُلْ مَنْ
رَبُّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ
سَيَقُوْلُنَّ اللهُ قُلْ أَفَلاَ تَتَّقُوْنَ. قُلْ مَنْ بِيَدِهِ
مَلَكُوْتُ كُلِّ شَيْئٍ وَهُوَ يُجِيْرُ وَلاَ يجُاَرُ عَلَيْهِ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنِ سَيَقُوْلُنَّ اللهُ قُلْ أَفَلاَ تُسْحَرُوْنَ.
(المؤمنون: 84-89)
Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya,
jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.”
Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?” Katakanlah: “Siapakah yang
Empunya langit yang tujuh dan yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Me-reka
akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak
bertaqwa.” Katakanlah: “Siapakah yang ada di tangan-Nya berada kekuasaan
atas segala sesuatu sedangkan Dia melindungi, tetapi tidak ada yang
dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan
menjawab: “Kepunyaan Allah.” Kata-kanlah: “(Kalau demikian), maka dari
jalan manakah kamu ditipu?” (al-Mu’minun: 84-89)
Sesungguhnya dalam tauhid rububiyah pun terkandung konsekwensi tauhid
uluhiyah juga. Artinya orang yang mengerti bahwa Allah adalah penguasa,
pencipta dan pemilik alam semesta, maka sudah seharusnya ia beribadah
hanya kepada Allah, meminta dan berdoa hanya kepada-Nya. Oleh karena itu
Allah mempertanyakan orang yang mengerti bahwa Allah sebagai
penguasanya, namun ia berdo’a dan beribadah kepada selain-Nya dengan
kalimat اَفلا تسحرون (maka dari jalan manakah kamu ditipu?)
Oleh karena itulah kalimat لاإله إلا الله lebih luas dan lebih
lengkap kandungan maknanya daripada kalimat لا خالق إلا الله (“Tidak ada
pen-cipta kecuali Allah” ) atau kalimat لا مالك إلا الله (“Tidak ada
penguasa kecuali Allah”). Belum dapat dikatakan masuk Islam seorang
kafir musyrik yang mengatakan: “Saya percaya bahwa yang menciptakan
langit dan bumi adalah Allah”, sampai ia mengikrarkan bah-wa “tiada yang
berhak diibadahi kecuali Allah” dengan yakin dan kemudian dibuk-tikan
dengan amalannya.
Dengan demikian tiga macam tauhid tersebut yakni uluhiyah, rububiyah
dan asma wa sifat adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dan
semuanya terkandung dalam kalimat syahadat لاإله إلا الله yang merupakan
ma’rifatullah atau pengenalan seorang ham-ba terhadap Allah:
1. Mengenal hak-hak-Nya; yaitu hak untuk diibadahi, ditaati, dicintai
dengan setinggi-tingginya cinta,
berharap kepada-Nya, bergantung
kepada-Nya, takut kepada-Nya dan sebagainya.
2. Mengenal rububiyah-Nya yaitu bahwa Allah-lah yang menciptakan langit
dan bu-mi serta seluruh alam
semesta. Dialah yang memilikinya, yang
mengaturnya dan yang berhak menakdirkan segala sesuatu yang
terjadi
dengan hikmah dan keadilan-Nya.
3. Mengenal nama-nama, sifat-sifat dan per-buatan-Nya yakni menetapkan
dengan keimanan dan keyakinan
seluruh nama-nama dan sifat-sifat Allah
yang Allah ke-nalkan diri-Nya dalam al-Qur’an dan yang
dikenalkan oleh Rasulullah dalam riwayat-riwayat yang shahih. Dalam mengenal dan mengimani nama dan
dikenalkan oleh Rasulullah dalam riwayat-riwayat yang shahih. Dalam mengenal dan mengimani nama dan
sifat Allah harus dengan syarat-syarat sebagai
berikut:
a. Menetapkan semua itu dengan lafadz dan maknanya sekaligus. karena
sebagian ahlul bid’ah dari kalangan ahlul kalam, mu’tazi-lah dan
asy’ariyah dan sejenisnya meneri-ma lafadz-lafadznya tetapi menolak
makna-nya dengan tahrif (penyimpangan makna-nya) atau tafwidh (tidak mau
menerje-mahkannya secara dhahir dengan alasan menyerahkannya kepada
Allah).
Tidak seperti ahlut tahrif, mereka menerima sifat يد (tangan) bagi
Allah tetapi mereka mengatakan bahwa يدmaknanya bukan tangan tetapi
kekuatan. Mereka menerima sifat غضب (marah) tetapi mereka mengatakan
bahwa غضب maknanya bukan marah tetapi berkehendak untuk membalas. Dengan
kata lain ahlul bid’ah tersebut menerima lafadznya tetapi menyimpangkan
maknanya kepada makna-makna lain yang diistilahkan oleh Ibnu Taimiyah
dengan “at-tahrif”.
Tidak pula seperti golongan ahlu tafwid yang tidak mau menterjemahkan
makna dari lafadz-lafadz tersebut dan menyatakan bahwa Allah memiliki
يد tapi kami tidak tahu mak-nanya; Allah memiliki sifat غضب. Tetapi kami
tidak tahu maknanya, kami serahkan semua-nya kepada Allah. Dan mereka
tidak mau mengartikan يد dengan tangan dan غضب de-ngan marah.
Pendapat mereka ini bertentangan de-ngan hikmah diturunkannya
al-Qur’an de-ngan bahasa Arab, yaitu untuk dipahami maknanya sebagaimana
Allah berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْءَانًا عَرَبِيًّا لَعَلَكُمْ تَعْقِلُوْنَ. …( يوسف: 2)
Sesungguhnya Kami menurunkannya beru-pa al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kalian memahaminya. (Yusuf: 2)
b. Kita menetapkan nama dan sifat Allah dengan yakin bahwa Allah tidak sama dengan makhluk-Nya.
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ. (الشورى: 11)
Tidak ada yang serupa dengan-Nya, dan Ia Maha Mendengar lagi maha Melihat. (asy-Syura: 11)
Maka kita harus meyakini Allah memiliki يد (tangan), tetapi tidak
sama dengan tangan makhluk-Nya. Kita juga meyakini bahwa Allah mempunyai
sifat غضب (marah), tetapi tidak sama dengan kemarahan makhluk-Nya.
Tidak seperti golongan lain dari ahlul bid’ah yaitu para mumatsilin
yang mengata-kan bahwa Allah mempunyai tangan seperti kita dan memiliki
sifat marah seperti kita marah. Maha suci Allah dari apa yang mereka
katakan.
c. Tanpa menanyakan bagaimananya. Mene-tapkan nama-nama dan
sifat-sifat Allah seperti apa adanya di dalam al-Qur’an dan dalam
hadits-hadits yang shahih tanpa menanyakan seperti apa atau bagaimana?
Kita beriman dengan apa yang Allah beritakan kepada kita tentang
diri-Nya dan kita tidak tahu apa yang tidak diberitakan kepada kita.
Karena masalah ini adalah perkara ghaib yang tidak mungkin kita
mengetahuinya kecuali sebatas apa yang diberitakan oleh Allah dan
Rasul-Nya.
Wahyu telah berhenti, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah
wafat, Islam telah sempurna. Maka siapakah yang akan menjawab pertanyaan
kita tentang apa yang tidak diberitakan kepada kita oleh Allah dan
Rasul-Nya?!!!
Pertanyaan كيْفَ. (seperti apa atau bagaimana) adalah pintu setan.
Sedemikian berbahayanya pintu takyif sampai-sampai para ulama bersikap
keras kepada mereka yang memiliki pikiran-pikiran usil dan kotor.
Tercatat di antaranya Imam Malik bin Anas, pemilik Kitab Al-Muwatha’,
menunjukan rasa marahnya saat seseorang bertanya –tepatnya
mempertanyakan—bagaimana istiwanya Allah di atas arsy-Nya. Beliau
rahimahulllah menjawab:
اْلإِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ، وَالْكَيْفُ
غَيْرُ مَعْقُوْلٍ، وَاْلإِيْمَانُ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ.
وَمَا أَدْرَاكَ إِلاَّ ضَالاًّ وَأُمِرَ بِهِ أَنْ يُخْرَجَ مِنْ
مَجْلِسِهِ.
al-istiwa’ adalah bukan (kalimat) yang asing, kaifiyah (bagaimana
istiwa’nya Allah)nya adalah tidak mungkin diketahui, beriman terhadapnya
adalah wajib dan ber-tanya tentangnya adalah bid’ah. Tidaklah aku
melihat engkau kecuali orang yang sesat. Kemudian diperintahkan agar ia
dikeluarkan dari majlisnya
Dengan demikian dalam beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah, kita ha-rus memenuhi syarat-syarat di atas yaitu:
1. Menerima lafadz dengan maknanya secara dhahir.
2. Tanpa tahrif (penyimpangan makna).
3. Tanpa ta’thil (penolakan sebagian maupun keseluruhan).
4. Tanpa tafwidh (tidak mau menerjemah-kannya secara dhahir dengan alasan me-nyerahkannya kepada
Allah).
5. Tanpa tasybih atau tamtsil, yaitu tidak menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
6. Tanpa Takyif, yaitu tidak menanyakan seperti apa dan bagaimananya.